Jumat, 28 Juli 2017

Sejarah awal mula kerajaan gowa

ASAL-USUL KEKERABATAN DI MANGASA

Dalam catatan Lontara’ Patturioloangna tu gowaya, kerajaan Gowa diperkirakan mulai dikenal pada abad ke 14 atau sekitar tahun 1300 masehi. Dimasa itu, wilayah asli kerajaan Gowa terdiri dari sembilan daerah (negeri kecil) yang dikenal dengan sebutan ” Kasuwiang/Kawarrang Salapang “, yaitu Tombolo’, Lakiung, Saumata, Parang parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling, dan Sero’. Delapan daerah berlokasi disekitar bukit Tamalate, dan satu”nya daerah berlokasi di bantaran sungai Je’ne berang yang dinamakan Agang Je’ne dengan kepala negerinya disebut ” Gallarrang Mangasa “. 

Pengangkatan Sombaya ri Gowa pertama kali, yaitu ” Tumanurunga ” ( Karaeng Bainea;Ratu) tidak terlepas dari peranan Daengta Gallarrang Mangasa bersama Daengta Gallarrang Tombolo’ (keduanya masih berkerabat;sampo sikali, sepupu sekali, saudara misan) disertai oleh tujuh Gallarrang lainnya bersama Daengta Paccallaya (Hakim Adat), dimana pada zaman itu, wilayah wilayah yang saling bertetangga seringkali terlibat dalam perselisihan satu sama lain, dan tak jarang pula terjadi peperangan peperangan dengan penduduk daerah yang lain terutama yang berdiam diseberang bagian selatan dari sungai Je’ne berang, terutama dengan kelompok masyarakat yang menghuni kampung Untiya dan Lambengi.

Wibawa Daengta Paccallaya sebagai hakim penengah sangat kecil, dan wewenangnya tidak kuat untuk menjadi solusi bagi terciptanya perdamaian dan ketentraman masyarakat dalam kesembilan kasuwiang tersebut. Sehingga diperlukan adanya pemimpin yang dihormati, dipatuhi, dan memiliki kharisma sesuai dengan pandangan tradisional masyarakat waktu itu. Dan dalam suatu peristiwa di Taka’bassia yang saat ini disebut dengan nama bukit Tamalate, terjadilah kesepakatan lisan yaitu para Gallarrang dari sembilan negeri bersama Daengta Paccallaya disatu pihak dengan seorang putri yang mengenakan pakaian kebesaran dilengkapi atribut atribut kebangsawanan yang dalam sejarah orang orang di gowa serta diseluruh jazirah sulawesi bagian selatan dengan sebutan ” Manurunga ri Tamalate ” di lain pihak. 

Kesepakatan tersebut diawali oleh ucapan Daenta Paccallaya “…Kami semua datang kemari untuk mengangkat engkau sebagai raja (Karaeng), kemudian perempuan tersebut yang selanjutnya disebut ” Tumanurunga ” menjawab …nu karaengangma’ kuma’dengka kumangngalle je’ne…kalian mempertuan, akan tetapi saya masih menumbuk padi dan mengambil air, kemudian Daengta Paccallaya memberikan jawaban …bainengmang anjo tama’dengka tamangngalle je’ne, ala ikau mamo seng kikaraenganga…sedangkan istri kami tidak menumbuk dan tidak mengambil air, apalagi engkau yang kami pertuan”. Dengan terjadinya dialog tersebut, maka bersedialah Tumanurunga diangkat menjadi Ratu, yang dilaksanakan oleh Daengta Gallarrang Mangasa bersama Daengta Gallarrang Tombolo’ yang disaksikan oleh Daengta Paccallaya serta ditabalkan oleh segenap pemuka negeri negeri yang lainnya (yang termasuk dalam kasuwiang salapang) dengan didahului oleh seruan dari Daengta Gallarrang Mangasa …Sombai Karaengnu Tu Gowa, berbaktilah kepada Rajamu wahai orang Gowa. Dan yang lainpun menyambut dengan seruan …Sombangku”.

Peristiwa inilah yang menjadi tonggak awal berdirinya kerajaan Gowa, yang diikuti lahirnya traktat (perjanjian) lisan antara Tumanurunga sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan kerajaan dengan para Gallarrang sebagai kepala kepala negeri bawahan yang selanjutnya disebut dengan ” Bate Salapanga ” (Sembilan bekas/tempat; sembilan bendera/panji).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar